“Jiwa yang Merdeka (Spirit Independent)”

 Oleh: Dadang Hudan Dardiri, S.Pd.M.Pd.



Kemerdekaan suatu Negara dapat dijamin teguh berdiri apabila berpangkal pada kemerdekaan jiwa

(Buya Hamka: 1908-1980)

 

Pada masa pandemi ini hidup kita seolah terpenjara, kita tidak dapat melakukan aktivitas dengan secara bebas karena dibatasi oleh protokol kesehatan. Disatu sisi sebagai tindakan dari tangung jawab kita untuk menjaga kesehatan pribadi serta orang-orang yang kita cintai serta umumnya seluruh masyarakat luas tetap kita harus mematuhi semua protokol tersebut. Tetapi disisi yang lain kita harus tetap dapat mengembangkan seluruh potensi yang kita miliki. Salah satu potensi yang dapat membangkitkan dan mengobarkan tindakan tersebut diantaranya adalah spirit atau jiwa yang merdeka.

“Jiwa yang Merdeka (Spirit Independent)”. Merdeka menurut KBBI merdeka adalah bebas, bebas dari penghambaan, penjajahan atau tidak terikat oleh seseuatu apapun. Dengan demikian dapat diartikan jiwa yang merdeka adalah jiwa yang otonom (berdiri sendiri). Kita sebagai manusia harus memiliki jiwa yang merdeka yakni kekuatan batin yang dapat membebaskan diri dari sikap malas: “malas bekerja, malas membaca, malas menggali atau mengeksplorasi segenap kemampuan yang kita miliki (yakni potensi logika dan kemampuan nalar, kinestetis, potensi motorik dan potensi yang lainnya).

Jika kita masih memiliki sikap malas, malas belajar, malas membaca, malas berkarya, malas dan enggan berfikir itu artinya kita masih dalam posisi terjajah atau posisi dependent spirit: jiwa yang masih terjajah. Sebagai contoh tokoh-tokoh dunia yang memiliki independent spirit,  jiwa yang merdeka, bahkan penjara sekalipun tidak membatasinya untuk menghasilkan karya-karya yang besar:

1.   Soekarno, pada usia 28 tahun menyusun Pledoi (pembelaan) yang diberi judul “Indonesia Menggugat” hasil kajiannya terhadap 80 judul buku pada saat beliau diasingkan dan dipenjara oleh penjajah Belanda;

2.   Selanjutnya tokoh dan pemikir Islam seperti: Sayyid Quthub (1906-1966 M) ia merampungkan kitab tafsir kontemplatif bertajuk Fī Dzilālil Qur’an.

3.   Ibbu Taimiyah (1263-1328 M) menghasilkan banyak kitab dan buku justru pada saat beliau dipenjara. Dua belas kali dipenjara selama masa hidupnya, Ibnu Taimiyyah tercatat banyak sekali menulis kitab-kitab risalah yang ringkas dan kecil. Karya beliau adalah Majmu' Fatawa yang berisi masalah fatwa fatwa dalam agama Islam.

4.   Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka juga mengalami nasib yang sama, dalam penjara beliau menghasilkan tulisan terbesarnya. Menurut James S Rush dalam Hamka’s Great Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia (2016), dari sana lahir karya monumental bertajuk Tafsir Al-Azhar berjumlah sembilan jilid.

 

Bagi tokoh-tokoh tersebut penjara sama sekali tidak menghalanginya untuk berkarya, itu kenapa...? Karena mereka memiliki tekad, kekuatan batin. Kekutan batin itu pulalah yang dapat mengendalikan perilakunya, bahkan kekuatan batin, motivasi, hasrat dan keinginan, serta keikhlisan itu pulalah yang dapat meningkatkan kinerja otaknya berkerja secara sangat baik.

Menurut pendapat Dr. Salamun dengan mengutip Howard Gardner (1983) dalam “Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences” dan Howard Gardner (1999)  dalam “Intelligences Reframed: Multiple Intelligences for the 21 st Century”. Menyebutkan bahwa otak kita diselimuti lapisan tipis yang berlendir diseburt sebagai Equilibrium. Jika kita memiliki jiwa dengan motivasi yang tinggi, hasrat yang besar, penuh keikhlasan dan rasa yang selalu dipenuhi dengan perasaan senang tanpa tertekan, maka lapisan equilibrium tersebut akan menebal. Jika lapisan tersebut menebal dapat dipastikan sel-sel otak (neuron) akan memposisikan diri secara tegak lurus. Jika posisi tegak lurus maka neuron tersebut layaknya ‘antena’ yang siap untuk menerima berbagai informasi positif. Itu juga berarti otak kita akan bekerja dengan sangat optimal.

Sebaliknya jika kita memiliki jiwa dan perasaan yang tidak ikhlas, sangat terpaksa, jengkel, marah, benci tidak senang, mangkel dan miskin dan minim motivasi maka Equilibrium tersebut akan menipis yang menyebabkan posisi neuron tidak dalam posisi tegak bahkan tiarap, itu artinya jangan harap kita mampu menyerap informasi atau pelajaran, jangan pula berharap otak kita bekerja secara baik sama artinya kita tidak akan mampu mengembakan potensi dengan baik.

Kesimpulannya, tempatkan jiwa kita sebagai jiwa yang merdeka: jiwa yang terbebas dan tidak terpenjara oleh rasa malas, malas belajar, malas membaca dan malas mengeksplorasi segenap potensi yang kita miliki.

Sebagaimana dikutip dari Akbar Zainudin: 2011, menyatakan “Sebesar kemauanmu sebesar itu pula yang kau dapatkan.

 


0 comments: